number of visitors on my blog

Pages

Jumat, 05 Agustus 2011

Edelweis Ku

ini cerpenku nih, sebenenya gk suka nulis cerpen sih tapi ada tugas B.Indonesia jadi mau gk mau harus buat


            Revan Ardianta Saputra merupakan seorang siswa SMA Bina Nusa Jakarta. Tak ada satupun orang yang tak mengenalnya di SMA Bina Nusa. Hal itu karena Revan merupakan kapten tim basket SMA Bina Nusa. Di samping kehandalannya dalam bermain basket, cowok yang tinggi semampai dan berkulit putih itu terkenal sangat ramah dan supel kepada teman – temannya. Karena itu Revan sangat terkenal dan banyak dikagumi cewek – cewek di sekolahnya. Sebagai salah satu tim basket dan sekaligus menjabat sebagai kapten. Dia sering mengikuti event – event lomba basket mulai tingkat kota hingga nasional. Hampir pada setiap pertandingan, cowok yang duduk di bangku kelas 11 ipa 2 ini bersama teman – temannya selau berhasil menyabet juara maupun mempertahankan juara. Selama hampir kurang lebih 1,5 tahun dia menjabat sebagai kapten, sedikitnya ada 5 piala tingkat kota, 2 kali dapat mempertahankan piala bergilir gubernur dan dapat menyabet medali emas dalam pertandingan sea games yang berhasil diraihnya bersama tim basketnya. Tak ada yang meragukan lagi kemampuannya dalam bermain basket.
            Keesokan harinya Revan berangkat ke sekolah, seperti biasa dia memarkir mobil jazz merahnya di tempat parkir. Kemudian dia berjalan menuju kelasnya yang terletak di lantai dua. Ketika berjalan menaiki tangga tiba – tiba terasa ada yang menepuk pundaknya dari belakang, ternyata sahabat baiknya Kevin dari kelas 11 ipa 6 yang juga anggota tim Basket SMA Bina Nusa “Eh…..tumben jam segini loe udah datang biasanya mepet pas bel masuk baru datang” tanya Kevin sambil menyapa Revan yang baru datang dengan membawa bola basket.”Ah….lu Vin kayak gue gak pernah berangkat pagi aja. Iya nih gue mau nyelesain tugas, tugas gue belum kelar – kelar dari kemarin, emang punya loe udah kelar?” tanya Revan. “Hehe…. belum sih” jawab Kevin sambil nyengir. ”Oh ya ntar pulang sekolah jangan lupa latihan basket buat nyiapin lomba yang tinggal seminngu lagi” kata Revan mengingatkan. ”Siap kapten” kata Kevin dengan lugas. “Oke sampe ketemu nanti” kata Revan. Mereka pun bejalan menuju ke kelas masing – masing.
             Teeetttt…….teeetttt. Bel sekolah berbunyi dua kali tanda berakhirnya sekolah, segera Revan menuju lapangan basket. Dari kejauhan sudah terlihat beberapa temannya yang sudah siap mengenakan kaos basket. ”Oke guys kita mulai latihannya!” kata Revan memberi perintah kepada teman – temannya. Di tengah – tengah serunya latihan tiba – tiba terdengar suara “Aaaaarrgghhh…..!!!”. “Eh kenapa loe van??” tanya Valdo khawatir, cowok bertubuh jakung itu segera memanggil teman – teman yang lainnya dan membawa Revan ke Rumah Sakit. Setelah menjalani pemeriksaan ternyata Revan menderita cedera parah ada sendi tulangnya yang bergeser. Semenjak kejadian terbut Revan tidak dapat bermain basket untuk sementara waktu karena dokter melarangnya hingga ia pulih kembali dan Revan setiap seminggu tiga kali harus menjalani terapi demi kesembuhan kakinya.
            Suatu pagi Revan ngotot untuk latihan basket meskipun kakinya belum sembuh total, tak ada satu pun orang yang bisa melarangnya. “Revan, kakimu masih belum sembuh total, jangan dipaksakan itu terlalu berbahaya!” kata Kevin sahabatnya. “Enggak Vin, aku harus latihan lagi, lombanya tinggal dua hari lagi. Aku nggak mau kalah besok, aku harus mulai latihan” kata Revan. Namun sial saat dia mencoba berlari kakinya tiba-tiba terasa sakit dan Revan pun menyerah karena dia tidak mampu menahan rasa sakit itu “aaaah, sialan” teriak Revan, “apa gue bilang, kaki loe itu belum bisa buat latihan, nggak usah ngeyel” kata Kevin.
Sejak saat itu Revan menjadi berubah yang semula ramah dan supel kepada teman – temannya menjadi murung dan menutup diri. Nilai – nilainya pun jeblok, bukan hanya itu saja, dia juga  menghindar dari Kevin sahabat  baiknya. Melihat Keadaan Revan yang seperti itu orang tua, guru – guru dan teman – temannya merasa khawatir  dengan keadaan Revan saat ini.
Suatu siang, seusai pulang sekolah Revan memutuskan untuk menyendiri di taman sekolahnya. Taman itu dikelilingi oleh pagar tanaman yang tinggi – tinggi dan terawat, di sebelah kanan taman terdapat pohon cemara yang tumbuh menjulang tinggi.  Di bangku taman terlihat Revan menangis sendiri padahal seorang Revan Ardianta Saputra dikenal sebagai siswa yang selau ceria dan dimata teman – temannya Revan adalah teman yang tegas juga selalu disiplin bahkan saat kalah dalam bertanding dia tidak pernah kecewa apalagi menangis. “Tuhan kenapa kau lakukan ini kepadaku?”Tanya Revan kesal kepada Tuhan. ”Kenapa harus sekarang Tuhan? Ini tidak adil!!”jerit Revan semakin kesal.”Apa salahku Tuhan? Ini tidak adil sungguh ini benar – benar tidak adil” keluh Revan kepada Tuhan sambil berdiri dan tak terasa matahari perlahan – lahan mulai turun dari tahta kemegahannya.
Tiba – tiba terlihat sosok perempuan rambutnya yang hitam lurus melambai – melambai ditiup angin senja, namun Revan tak menyadari kedatangannya mungkin karena pagar tanamn  yang meredam langkah kaki perempuan itu. ”Hai”  sapa perempuan itu dengan lembut. “Eh..hai,kamu siapa?”tanya Revan yang tersadar oleh suaranya dan memandang perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung kepala,”Sepertinya dia satu sekolah denganku” gumam Revan dalam hati karena dia melihat perempuan itu memakai seragam yang sama sepertinya.”Kenalin aku  Deanita Arini Putri satu sekolah sama kamu,  temen – temen biasa manggil aku Dea, aku dari kelas 11 ipa 6” kata Dea memperkenalkan diri sambil menjabat tangan Revan yang sedikit dingin mungkin karena terlalu lama duduk di taman dan terkena banyak angin. “Kamu kenapa sore – sore kayak gini disini sendirian?” tanya Dea seraya langung duduk disebelah Revan, tetapi Revan hanya terdiam dan tak mau menjawab pertanyaan dari Dea. “Tuhan itu baik banget ya sama kamu, kamu pinter main basket banyak digemari cewek – cewek pula. Kamu hebat Revan” puji Dea menyambung pertanyaannya yang tidak dijawab Revan. “Nggak kamu salah, aku nggak hebat,Tuhan nggak sayang sama aku, Tuhan nggak adil”kata Revan dengan nada sedikit membentak. ”Tuhan sayang sama kamu kok buktinya kamu bisa berprestasi, aku aja pengen kayak kamu bisa memiliki prestasi yang cemerlang” jawab Dea pelan. Revan menatap Dea dengan kaget sehinnga Revan sadar dengan apa yang dilakukan selama ini salah, Tuhan sebenarnya sayang dengannya.”Wah udah mulai gelap nih, aku pulang dulu yah. Kamu juga cepetan pulang ya.Daaahhh” Dea berdiri dan melambaikan tangan ke Revan. Revan pun akhirnya pulang karena dia sudah merasa lelah dan jenuh.
Keesokan Revan berangkat sekolah seperti biasa saat dia melewati koridor lalu dia berpapasan dengan Dea, Dea tersenyum kepadanya tetapi Revan hanya diam dan lewat, Revan berlagak seolah – olah dia tidak melihat Dea. Namun ternyata selama ini diam – diam Revan sering memperhatikan Dea. Tapi ada yang sedikit aneh beberapa hari terakhir, Revan tidak pernah melihat Dea. Revan mulai khawatir dengan keadaan Dea, dia berusaha mencari Dea. Akhirnya dia memtuskan untuk mencari Dea ke kelasnya. “Hei Vin loe liat Dea nggak?” tanya Revan kepada Kevin yang terlihat berdiri di samping pintu kelasnya dengan membawa segelas jus alpukat. ”Dea siapa?” jawab Kevin sambil meneguk jus alpukat. ”Lho…bukannya dia sekelas sama kamu?” tanya Revan sekali lagi. “Iya tapi Dea yang mana, di kelas gue ada tiga yang namanya Dea” jawab Kevin mempertegas. “Itu Deanita Arini Putri yang rambutnya panjang lurus” Revan menjelaskan. ”Oh..Deanita, iya memang tiga hari terakhir ini dia nggak masuk sekolah di surat izinnya tertulis dia harus menjalani check up selama seminggu” kata Kevin. “Emangnya ada apa sama Dea?” tanya Revan kaget. “Kamu belum tahu ya kalau Dea itu menderita penyakit kanker tulang” jawab Revan sambil sesekali menyeruput jusnya. Seketika itu tubuh Revan seperti disetrum listrik yang bertegangan tinggi. Dia tidak menyangka kalau Dea harus menderita penyakit seberat itu padahal ketika dia bertemu dengan Dea, Dea terlihat ceria dan tidak nampak sama sekali tanda – tanda orang sakit.

Tuuut…tuuut. Telepon genggam Revan berbunyi dilihat hapenya ternyata ada pesan dari mamanya
“Revan nanti jangan lupa sepulang sekolah kamu harus terapi, mama tunggu di Rumah Sakit di tempat seperti biasa”
Revan baru teringat kalau hari ini ada jadwal terapi yang harus dijalaninya setelah membaca pesan dari mamanya.
Setelah sekolah berakhir Revan bergegas menuju tempat parkir lalu segera mengendarai jazz merahnya menuju ke Rumah Sakit. Setibanya di Rumah sakit Revan menemui mamanya di ruang tunggu. “Gimana ma uda giliranku belum?” tanya Revan. “Belum Van masih lama kira – kira tiga puluh menit lagi soalnya dokternya tadi datang terlambat” jawab mamanya. “Ya udah ma sambil nunggu Revan mau jalan – jalan dulu sambil cari minum” izin Revan pada mamanya. “Hati – hati ya Van tiga puluh menit lagi kamu harus udah balik” kata mama mengingatkan. “Oke ma, tenang aja”. Ketika sedang berjalan – jalan melewati lorong Rumah Sakit, di ujung lorong itu Revan tidak sengaja melihat ada salah satu pintu ruangan terbuka, ruangan itu terlihat cahaya yang sangat terang berasal dari lampu ruangan itu ditambah cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Revan tak henti – henti melihat sosok perempuan yang sendirian berada di ruangan itu. Tiba – tiba terdengar suara yang tidak asing bagi Revan “Revan sedang apa kamu disini?” kata suara yang terdengar lembut sepertinya suara seorang perempuan. Revan kaget bagaimana bisa perempuan itu tahu namanya tetapi setelah Revan benar – benar mengamati siapa perempuan itu Revam kaget ternyata Dea. “Eh...Dea.Aku harus menjalani terapi untuk memulihkan cederera yang aku alami sewaktu bermain basket. Kamu sendiri nagapain disini sendirian lagi?” tanya Revan. “Aku harus menjalani kemoterapi karena penyakit kanker tulang yang sudah aku derita tiga bulan yang lalu” kata Dea menjelaskan.
Tak terasa hari demi hari telah berlalu, cedera yang dialami Revan sudah sembuh dan  Revan mulai berlatih basket kembali. Akhirnya Revan dan Dea menjadi sahabat baik. Jika Revan mempunyai masalah, baik dengan orang tua maupun dengan pelajaran di Sekolah, Revan selalu bercerita kepada Dea dan begitu juga sebaliknya. Dan sekarang Dea dan Revan sudah duduk di bangku kelas 12. Pada suatu hari saat jam istirahat mereka berdua duduk – duduk dan mengobrol di kantin sambil menunggu bakso pesanan mereka datang. “Revan setelah kamu lulus SMA nanti mau melnjutkan kuliah dimana” tanya Dea. “Ah kamu kita kan sudah kenal lama gimana kalau kita nggak usah pake aku kamu tapi loe gue gimana setuju nggak?” kata Revan mengusulkan menggunakan istilah loe gue yang biasa dipakainya jika berbicara dengan Kevin sahabat  lamanya. “Oke gue setuju. Eh Van kalau loe udah lulus SMA loe mau nglanjutin kuliah dimana?” kata Dea mengulangi pertanyaannya. ”Nah gitu dong biar kita kelihatannya lebih akrab. Rencananya gue mau nglanjutin kuliah ke UI pengen ngambil jurusan akutansi” jawab Revan.
Pada suatu hari peristiwa yang tidak terduga dan pastinya tidak ingin diinginkan oleh Revan terjadi. Tiba – tiba kesehatan Dea menurun dan Dea dalam keadaan kritis. Dea dilarikan ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang ICU. Namun setelah dirawat selama empat hari nyawa Dea tidak tertolong lagi. Akhirnya Dea meninggal sebelum dia bisa mengikuti Ujian Akhir nasional yang sebulan lagi akan dilaksanakan. Sekarang Revan kehilangan sahabatnya Dea yang telah dipanggil oleh tuhan. “Dea” ya Dea adalah sebuah nama yang tidak akan mungkin dilupakan oleh Revan.
Dua tahun kemudian. Revan telah menjadi mahasiswa akutansi Universitas Indonesia seperti apa yang pernah Revan ceritakan ke Dea bahwa dia ingin melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia jurusan akuntasi.  Selama kuliah Revan tergabung dalam komunitas MAPALA yang kepanjangannya Mahasiswa Pencinta Alam. Pada suatu hari komunitas tersebut mengadakan pendakian ke Gunung Lawu. Setibanya Revan dan kawan – kawan tiba di puncak Gununh Lawu, Revan melihat sekumpulan bunga edelweiss. Menurut mitos yang diyakini masyarakat bunga edelweis adalah lambang keabadian. Tiba – tiba Revan teringat pada seseorang kemudian Revan memetik bunga tersebut dan membawanya pulang.
Pukul empat sore  Revan tiba di Jakarta kemudian pulang ke rumah dan langsung berangkat lagi. “Revan mau keman kamu barusan datang kok udah mau berangkat lagi?” tanya mama. “Ada deh rahasia, mama mau tau aja” jawab Revan sambil terburu – buru memakai jaketnya dan langsung mengegas jazznya menuju ke suatu tempat.
Akhirnya Revan tiba di depan lahan yang cukup luas. Lahan tersebut sepi dan hening tak ada satupun orang hanya satu atau dua orang yang berlalu lalang mungkin karena matahari sudah mulai turun perlahan. Revan sempat lupa dimana tempatnya karena sudah dua tahun Revan tidak pernah mengunjunginya lalu dia mencoba mengingat ingat kembali. Dan akhirnya Revan sampai juga di depan sebuah gundukan tanah terdapat sebuah batu nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir dengan tinta berwarna emas bertuliskan Deanita Arini Putri. “Hai Dea udah lama nih aku nggak kesini tadi aku sempat lupa dan nyasar sedikit tapi akhirnya nyampe juga” kata Revan berbicara sendiri kepada kuburan Dea. “Oh ya Dea aku bawa bunga edelweis nih, katanya sih bunga ini adalah lambang keabadian. Aku berharap hubungan kita selalu abadi walaupun kamu sekarang udah di alam yang berbeda denganku. Dea sebenernya aku suka sama kamu andai saja aku bisa menyampaikannya lebih awal soalnya aku ini termasuk cowok pengecut ngomong gitu aja nggak berani. Eh iya udah mulai maghrib aku harus cepetan pulang sebelum mama khawatir” kata Revan kemudian meletakkan serangkaian bunga edelweis di atas makam Dea dan seraya berkata “Sampai jumpa edelweis ku”. 


Nama               : Ria Ristina
Kelas               : X-7
No. Absen       : 28

1 komentar: